Buluh Perindu Penggoda Sukma

Bookmark and Share
KIRAN melap bibirnya yang berminyak, dan dengan nikmat mereguk air putih dari gelas bambu. Dia menarik nafas panjang, merasakan kesejukan yang merasuk di dada. Setelah sempat dilanda ketegangan, bisa menikmati santap malam dengan nyaman sangatlah menyenangkan. Dia menatap Mohiyang yang juga sudah selesai makan. Nenek renta ini hanya makan sedikit.
Kedua perempuan beda usia ini saling pandang. Merasakan suasana yang aneh. Keduanya tak saling kenal, namun kini seperti ditautkan oleh suatu perasaan, entah apa.
Dari kejauhan, debur ombak masih terdengar bersahutan, seperti berloma membelah pantai. Dan tiba-tiba terdengar alunan seruling, yang terdengar samar di antara debur ombak.
“Aneh, siapa yang meniup seruling di tempat ini?” Kiran bertanya sambil merapikan daun yang digunakan sebagai wadah makan.
“Mungkin penggembala sapi,” jawab Mohiyang.
“Penggembala sapi, di tepi pantai seperti ini?” ujar Kiran sambil membuang tulang-belulang sisa ikan yang tadi disantap.
“Memang kenapa? Yang dibutuhkan sapi hanyalah rumput segar, dan di tepi pantai ini banyak rumput segar,” kata Mohiyang.
“Ahhh… Aku kenyang sekali,” kata Kiran. “Aku merasa sangat mengantuk…” katanya sambil menguap.
Mohiyang menatap Kiran, merasa lucu melihat sikap gadis itu yang sangat polos. Dan tiba-tiba Mohiyang juga merasa mengantuk. Rasa kantuk yang sangat kuat.
Mohiyang menggelengkan kepala. Aneh, tidak biasanya dia merasa mengantuk di jam seperti ini. Matahari baru saja terbenam di peraduan. Dia biasanya merasa mengantuk menjelang tengah malam.
Nenek itu menatap Kiran, dan terheran melihat wajah gadis itu yang kini kemerahan. Matanya sayu.
“Kiran, kau kenapa?”
“Aku mengantuk sekali, nek. Hoaaaaahemmm….” Kiran segera merebahkan kepalanya ke meja sederhana di pondok itu.
Mohiyang Kalakuthana adalah jagoan yang sangat berpengalaman. Rambutnya telah memutih oleh berbagai pengalaman hidup. Melihat sikap Kiran, dia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Kenapa Kiran dan juga dia tiba-tiba merasa mengantuk? Rasa kantuk ini sangat tidak wajar.
Ahhhh!!!!
Suara seruling itu, pikir Mohiyang.
seruling
Dia menggoyang pundak Kiran. “Kiran sadarlah. Kita diserang oleh ilmu Buluh Perindu Penggoda Sukma!!!”
Kiran yang sudah hampir terlena, terkejut mendengar ucapan Mohiyang. Sebagai tabib muda, Kiran mengenal hampir seluruh ilmu beladiri yang ada di Nusantara, terutama di Jawadwipa. Dari yang dipelajarinya, Buluh Perindu Penggoda Sukma adalah jenis beladiri yang menyerang lawan menggunakan suara. Beladiri ini sangat sukar dipelajari, karena untuk menguasainya seseorang harus memiliki tenaga sakti yang sangat tinggi. Tenga sakti inilah yang mengendalikan suara hingga bisa menyerang lawan.
“Su… suara seruling… itu…” Kiran berujar sambil membelalakkan mata, seakan dengan terbelalak dia akan terbebas dari rasa kantuk yang sangat hebat.
“Iya. Peniup seruling itu hebat. Kerahkan tenaga saktimu Kiran, dan lawan keinginan untuk tidur!!” Mohiyang segera bersila, dan berkonsentrasi melawan serangan lawan yang datang dalam bentuk suara.
Kiran juga mencoba melawan. Wajah gadis cantik ini berpeluh. Dia mencoba berkonsentrasi, namun alunan seruling kini terdengar makin jelas. Alunan yang meliuk, seperti menari di gendang telinga. Seperti bidadari yang berbisik dan membujuknya untuk tidur.
“A… aku ti..dak bisa. A…ku mengantuk sekali nek,” Kiran berbisik lirih, dan menguap. Tatapan matanya nanar.
“Bertahanlah Kiran, jika tertidur, mereka akan mudah menguasaimu…”
Kiran menggelengkan kepala, dan setelah menguap, dia merebahkan kepalanya ke pundak Mohiyang.
“Kiran!!! Kiran!!! Bangun. Ah sial!!” Di antara debur ombak dan lantunan bunyi seruling, Mohiyang mendengar kisaran angin yang khas. Bunyi pakaian yang ditiup angin.
Ada yang datang, pikir Mohiyang. Dan ilmu beladiri mereka hebat, jauh lebih hebat dibanding lima jagoan yang semalam dikalahkannya.
Mohiyang menatap wajah Kiran yang terlelap. Gadis ini sungguh polos. Perlahan dia mengelus pipi gadis itu, mengelus penuh kasih.
“Mereka harus melangkahi mayatku jika ingin mendapatkanmu, Kiran…” Perlahan dia merogoh sakunya, mengeluarkan benda berbentuk bulat berwarna hitam kebiruan. Perlahan dia membuka mulut Kiran dan memasukkan benda bulat itu. Mohiyang kemudian menutup hidung gadis itu sambil perlahan meneteskan air dari gelas bambu.
Benda bulat yang dipaksakan minum ke Kiran adalah penangkal racun.
Setelah merapikan rambutnya yang memutih, perlahan Mohiyang menggosok kedua tangannya.
“Aku dijuluki si Ratu Racun. Malam ini, akan aku perlihatkan bahwa julukan itu bukan omong kosong!!!”
(bersambung)

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar