Tetes-Tetes Air Rumi (Jalaludin Rumi)

Bookmark and Share




Sumber:Wong Alus



Seperti tetes-tetes air yang mendinginkan kerak bebatuan yang cadas dan keras. Kesan batin inilah bila kita membuka-buka halaman buku tasawuf. Belajar Tasawuf memang tidak menjanjikan kesaktian dan kekuatan badan. Ia juga tidak menjanjikan satu cara agar mendapatkan kekayaan, kekuasaan dan kedigdayaan di dunia. Namun, dari tasawuf kita mendapatkan bekal agar mampu merangkai sesuatu yang berserak di batin, dan selanjutnya bisa menggerakkan kita agar bersiap diri untuk sebuah perjumpaan dengan Tuhan Yang Maha Melihat.



Betapa kering hidup ini bila kita hanya berkutat pada aturan, pada hukum, pada syariat. Namun tidak pernah menyelami samudra hakikat dari hukum syariat tersebut. Syariat itu dibuat tidak hanya untuk ditaati, namun pasti jelas ada tujuannya. Syariat mengharuskan seseorang muslim untuk sholat, namun apa tujuan sholat. Inilah saat kita memasuki wilayah hakikat dan kemudian tujuan sholat ditemukan yaitu bersujudnya “diri” kepada DIRI YANG MAHA SEJATI. Secara otomatis, bila kita bersujud kepada DIRI SEJATI, maka kita diharapkan untuk selalu menyatu dan dekat dengan iradat-NYA, kehendak-NYA. Dalam terminologi agama dikatakan sebagai TAKWA.



Dalam sebuah perjalanan spiritual menuju DIRI YANG MAHA SEJATI, setidaknya kita membutuhkan bekal yaitu pengetahuan sebab perjalanan itu adalah perjalanan yang orientasinya tidak ke luar, namun ke dalam diri. Kita tidak membutuhkan jutaan kilometer jarak tempuh perjalanan dengan kaki dan peluh yang bercucuran, namun yang kita perlukan adalah milyaran kehendak baik di dalam diri untuk selalu ingin berbuat kebajikan. Serta trilyunan perilaku sekecil apapun yang luhur. Inilah sesungguhnya perjalanan batin yang orientasinya hanya agar DIA mendekat menjadi ENGKAU dan kemudian dekat-sedekat-dekatnya menjadi AKU DIRI SEJATI.



Perjalanan mendekati-DIA menjadi AKU inilah yang menjadi fokus tasawuf Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Muhammad bin Husin Al Khatabi Al Bakri, nama lengkap Jalaluddin Rumi. Rumi dilahirkan di Balch Persia pada tahun 604 H atau 1217 Masehi dan meninggal dunia pada tahun 672 H atau 1273 Masehi. Saat usia empat tahun, dia ajak sang ayah ke Asia Kecil (negeri Rum) sehingga dia memakai nama Rumi.



Ajaran tasawufnya tersimpan dalam karya-karya agung, di antaranya Matsnawi yang terdiri dari 20.700 bait syair yang dirangkum dalam enam jilid. Pendirian tasawufnya berdasarkan atas Wihdatul Wujud. Inilah sari tasawuf Rumi:



Karamlah aku di dalam rindu



Mencari Dia, mendekati Dia



Dan telah tenggelam pula



Nenekku dulu, dan yang kemudian mengikut pula



Kalau kukatakan bibirnya



Itulah ibarat bibir dari bibir pantai lautan



Yang luas tak tentu tepinya



Dan jika aku katakan Laa, cucuku adalah Illa



Aku tertarik bukan oleh huruf



Dan bukan pula oleh suara



Makin jauh di belakang dari yang didengar dan diketahui



Apa huruf, apa suara, apa guna kau pikirkan itu



Itu hanya duri yang menyangkut di kakimu



Di pintu gerbang taman indah itu



Kuhapus kata, huruf dan suara



Dan aku langsung menuju ENGKAU



Rumi melanjutkan:



Nyanyian bagiku, wahai harapanku, nyanyian nusyur



Runduklah unta dan berhentilah



Sekarang timbul rasa bahagia dan surur



Telanlah ya bumi, air mata cukuplah



Minumlah hai jika, air mawar yang suci



Engkau kembali, hai hari rayaku



Selamat datang ya marhaban



Alangkah sejuknya engkau, hari yang sepoi



Dan kata Rumi lagi, mengibaratkan Tuhan memanggil kita pulang:



Marilah ke mari, marilah..



Sebab engkau tak akan mendapat sahabat laksana AKU



Manakah kecintaan seperti cinta KU, dalam wujud ini



Marilah ke mari, marilah…



Jangan kau habiskan umurmu dalam ragu-ragu



Tidak ada pasaran bagi hartamu



Kau adalah lembah yang kering, AKU-lah hujan



Kau adalah kota yang telah runtuh, AKU-lah pembangun



Kalau tidak ada pengabdian manusia atas-KU, tidaklah mereka akan bahagia



Pengabdian mutlak adalah Matahari kebahagiaan



Rumi memiliki jawaban atas pertanyaan manusia sebagai berikut:



Kita mendengar suara setiap waktu



Dari utara, dari selatan, panggilan..



Inilah kami! Terbang menuju bintang



Sebab kita dulu datang dari bintang



Dan berteman karib dengan malaikat



Dari sana kita datang, bahkan kita lebih tinggi dari bintang



Kita pulang! Kita pulang!



Lebih baik dari Malaikat, mengapa tidak akan kita atasi?



Tempat kita adalah di Maha Kebesaran



Apa artinya alam bumi bagi diri yang suci?



Kita pulang! Kita pulang!



Dan jika terjatuh lagi, tempat kita bukan di sini



Datanglah empasan ombak



Hancurlah bahtera badan



Itulah saat pertemuan…..



Hakikat hidup adalah CINTA, Rumi menyimpulkan tujuan perjalanan mendekati-NYA:



Aku tak kenal lagi siapa diriku



Tubuhku, tunjuki aku apa dayaku



Bukan bulan sabit dan bukan pula kayu palang



Bukan aku kafir dan bukan Yahudi



Bukan di timur bukan di barat tanah asalku



Tak ada keluarga, baik malaikat atau pun jin



Geligaku bukan dari bumi dan bukan batu karang



Bukan dari benua Cina bukan dari yang lain



Bukan dari Bulgaria tanah lahirku, Bukan..



Bukan dari Irak, bukan Khurasan



Bukan dari India dengan sungainya yang lima



Bukan disini dan bukan di sana



Bukan di surga bukan di neraka, wathan asalku



Aku juga bukan orang usiran dari surga Adam atau lembah Yazhan



Bukan dari Adam aku mengambil nasabku,



Tetapi dari satu tempat… alangkah jauh



Jalan yang sunyi sepi tiada bertanda



Aku lepaskan diriku dari tubuhku dan nyawaku



Dan aku telah menempuh hidup baru



Dalam nyawa KECINTAANKU



Demikian sekelumit tasawuf Rumi yang menyejukkan tersebut. Semoga ada manfaatnya bagi kita yang selama ini berada di dalam ombak lautan dunia fana dan terombang ambing dalam kebimbangan menentukan jalan hidup sejati.


{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar