JAS MERAH Jangan Sekali kali Meninggalkan Sejarah

Bookmark and Share
kita sebagai generasi penerus bangsa sudah semestinya melakukan koreksi atas perjalanan sejarah bangsa besar ini di masa lalu pernah lepas kendali hingga kini berkembang kian salah kaprah.Tidak semata sebagai sebuah kesalahan kebijakan masa lalu, tetapi tingginya sikap toleransi para pendahulu bangsa terutama terhadap anasir sistem kepercayaan (religi) yang berasal dari budaya asing.


Toleransi tinggi para pendahulu bangsa berhubungan dengan tingginya pemahaman tentang apa sejatinya religi dan sistem kepercayaan.Toleransi menumbuhkan prasangka baik dan kelonggaran sikap terhadap unsur asing walau banyak perbedaan secara esensial.
Namun hal itu justru dimanfaatkan oleh para penjajah pembawa anasir asing sebagai suatu kesempatan untuk menjalankan misinya


Namun dalam perkembangannya, sistem sosial dan politik berkembang secara liar tidak seperti yang diharapkan oleh para leluhur besar perintis Nusantara.
Bahkan hingga kini dampak buruknya kian dirasakan oleh generasi sekarang.
Apabila mau jujur dan para sejarawan bersama arkeolog mau meluruskan sejarah tentu akan ditemukan banyak kebohongan dalam “dongeng-dongeng” yang dikemas seolah bagaikan suatu kejujuran sejarah. Terutama cerita-cerita tentang masuknya para saudagar Gujarat, saudagar Mesir, saudagar Maroko dan Turki yang sangat tergiur oleh gemah ripahnya Nusantara.


Kisah-kisah masuknya saudagar ke Bumi Nusantara selanjutnya dirombak berupa “dongeng-dongeng” yang mengimajinasikan tokoh sakti mandraguna yang perjalanan hidupnya penuh perjuangan menegakkan kebenaran tuhan. Sebagai salah satu trik kolonialisme,
di dalamnya terdapat intrik-intrik politik dagang dan perebutan kekuasaan yang didukung melalui penciptaan dongeng-dongeng adu kesaktian antara para saudagar yang dicitrakan sebagai wakil tuhan versus penduduk asli pribumi yang dicitrakan sebagai musuh tuhan.


Ya..semua itu masih dalam kerangka proyek pemenangan politik dagang para saudagar beserta pengikutnya. Mayoritas anak bangsa mungkin termasuk Anda para pembaca,
mungkin merupakan anak turun dari para pendahulu bangsa yang menjadi korban atas pencitraan tendensius dan subyektif dari para saudagar bersama pendukungnya.
Jika Anda tidak terima, lantas pembelaan macam mana yang bisa Anda lakukan ? Maka, luruskan sejarah bangsa besar ini, agar supaya yang benar tampak benar,
yang salah terbongkar kedoknya. Sehingga dapat dijadikan pelajaran berharga bagi generasi penerus bangsa yang ingin mengerti kesejatian hidup ini apa sesungguhnya.


Dalam cara pandang sosio-ekonomis, jika Anda ingin memenangkan persaingan marketing, ada dua kiat jitu yang bisa ditempuh,

pertama, susupkan barang dagangan ke dalam unsur budaya lokal calon konsumen. Kedua, kuasai, dominasi,dan setir pola pikir calon konsumen agar supaya mengikuti kemauan si marketing. Tentu Anda akan menjadi marketing yang sukses menangguk keuntungan besar.Apalagi “kolonialisasi” dan dominasi terhadap pola pikir konsumen melalui berbagai doktrin di antaranya dengan mengatasnamakan Tuhan.Ditambah advertensi berupa iming-iming pahala bagi siapa saja yang mau mengkonsumsi dagangannya. Wow..pasti akan laris manis apapun jenis dagangannya.Selanjutnya, Anda tinggal menyingkirkan pesaing-pesaing bisnis Anda, dengan cara politik adu domba, aktif menciptakan wacana friksi dan gap,serta sibuk menumbuhkan konflik-konflik antara elemen-elemen kekuatan para pesaing. Dalam hal ini kearifan lokal (local wisdom) dan kerajaan-kerajaan yang masih eksis memegang teguh budaya dan tradisi bumipertiwi dapat diperankan sebagai pesaing paling diperhitungkan.
Ternyata, politik devide et impera-nya Belanda hanya sekedar meniru politik a la saudagar asing.Tengok saja periode sejarah sebelum masa kedatangan para saudagar, sejarah kerajaan Nusantara abad Sebelum Masehi (kerajaan pertama Kutai Lama) hingga akhir abad 12 masa Majapahit awal, perang atau konflik antara kerajaan sangat jarang terjadi.
Namun semenjak abad 14 terjadi peningkatan intensitas konflik. 


Selain dengan cara tersebut, penjajahan paling efektif bisa ditempuh melalui cara “perkawinan silang” antara penjajah dengan pribumi, di mana peran suami lebih banyak diisi oleh laki-laki penjajah, sedangkan peran istri diisi oleh mayoritas perempuan pribumi. Hal ini bertujuan tentu saja untuk mengamankan kepentingan,aset dan meluaskan otoritas kaum penjajah yang menganut sistem patrilineal.


Hebat bukan..!!!!  sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui. Politik apa ini namanya? Sembari berkuasa masih pula berpesta kenikmatan. Siapa kiranya yang tak tergiur. Program dan rencana akan jauh lebih sukses bila saudagar sembari membawa-bawa dan mengklaim diri sebagai orang suci pembawa kebenaran tuhan. Sudah dagangannya laris, dapat belahan surgawi wanita-wanita pribumi, ditambah bonus pahala lagi. Lantas lahirlah bayi-bayi merah tak berdosa dan tak tahu apa-apa yang akan menghuni Nusantara
sebagai generasi baru hasil politik macam itu. Mungkin saja di antara kita ini adalah termasuk bayi-bayi merah itu.


Yang terpenting bukanlah menggugat siapa yang melahirkan diri kita. 
Tetapi apa yang telah kita perbuat terhadap kebohongan sejarah???
Berani jujurkah generasi penerus bangsa ini???
Ataukah kronologi sejarah dan jejak-jejak kaki sejarah bangsa ini akan tetap ditopang oleh pondasi sejarah palsu???


Kain pel yang kotor, tak akan bisa membersihkan lantai kotor tuan !
Kata Bung Karno,”Jasmerah ! Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (yang jujur obyektif).


Di zaman modern dan serba terbuka ini, walau masih ada sebagian orang yang bernafsu untuk memelintir sejarah sesuai kepentingannya, sudah pasti..sejarah akan meluruskan dirinya sendiri. Sesuatu yang dianggap kebenaran mutlak di masa lalu, bisa saja terkoreksi oleh temuan-temuan baru. Sejarah palsu hanya bisa berbohong dalam kurun waktu yang tidak tak terbatas. Tidak selamanya bau bangkai dapat disimpan rapat-rapat.


Kini, generasi muda musti menyingkap bau bangkai itu, atau menyiapkan “kain pel” yang benar-benar bersih. Generasi bangsa musti melakukan koreksi signifikan untuk misi utama menyelamatkan Nusantara dari ambang kehancuran total. Kurang apa lagi? Nusantara adalah singgasana, adalah rumah pribadi, surga yang nyata dan bukan imajiner bagi anak-anak negeri, bagi rakyat Indonesia. Dan kita semua, generasi penerus bangsa sebagai tuan rumahnya, tentu saja di rumah pribadi kita Nusantara. Namun saat ini lain kenyataannya,
kita menjadi jongos di rumah sendiri, kita dipaksa mengabdi, membabukan diri kepada para “tamu” di rumah kita sendiri. Tamu mbagekake sing duwe omah.
Kita tertindas di negeri sendiri, oleh penjajah yang berdaging berdarah sebagai WNI, tetapi berisi jiwa-jiwa yang tak ubahnya onggokan sampah kepentingan,
tumpukan kebekuan pola pikir, dan jiwa yang berisi komitmen yang loyal dan berporos kepada para penjajah dari negeri antah-berantah.


Banyak orang lebih suka napak tilas dan berziarah kepada leluhur luar negri nun jauh di sana yang sama sekali tak ada hubungan ras, bangsa, suku, apalagi kerabat sodara. Sekalipun menghabiskan beaya puluhan juta tetap dilakoninya dengan harapan surga, sebaliknya terhadap leluhurnya sendiri tidak berbakti, kuburannya terbengkalai penuh ilalang, kotor tidak pernah diopeni. Lantas di mana sang hatinurani?? Sementara harta warisannya sampai kini masih mereka nikmati, bahkan sebagian telah dijual untuk ngabekti kepada leluhur-leluhur asing nun jauh di luar negeri. 


Mau diakui ataupun dipungkiri, pasti kualat akan datang menghampiri, kualat yang datang dari sikap perilakunya sendiri.Jadilah wajah Nusantara yang seperti ini. Rupa-rupa musibah dan bencana datang silih berganti, menerpa anak negeri yang lupa diri,lebih suka memuaskan nafsu dan imajinasi. Potret negeri di mana generasi penerusnya durhaka kepada sang ibu pertiwi.


sebentar lagi Nusantara akan “bersih-bersih” diri. 
Goro-goro gung tan kena den pungkiri. 
Murih tinarbukaning gapura gamabudi.Jaya nusawantara den enteni. Kang kadapuk dadi pambuka, iya satria kang jumedul ing pulo Semar Badranaya, sisih wetan sangkan ira. Mula den eling den êmut,menawa ana Candra-ning Negoro. Iya iku satria kang piningit, datan aran ratu adil, nanging kang jumeneng dadi satria nagari Pambukaning Gapura.


Bentuk kolonialisme yang melebihi model penjajahan terhadap daerah koloni, bilamana yang dijajah adalah kemerdekaan fikir dan pembunuhan atas kesadaran spiritual generasi penerus bangsa. Pola fikir dan kesadaran spiritual, adalah dua pilar yang membentuk karakter bangsa.
Dan terbukti saat ini bangsa Indonesia telah kehilangan karakternya. Merupakan kenyataan tak dapat ditutup-tutupi lagi,lihatlah…kini telah lahir generasi dimana kesadaran spiritualnya tergembok rapat di dalam tempurung kebodohan.


Apabila segala kepalsuan dan kebohongan itu terbongkar oleh temuan-temuan baru, dan oleh evolusi kesadaran manusia-manusia generasi baru,selanjutnya pola pikir masyarakat dunia akan segera berganti dengan paradigma pikir baru yang lebih realistis, membumi dan penuh nilai-nilai humanis. Saat itulah terjadi kiamat, bukan berarti kehancuran planet bumi bersama jagad semesta, melainkan  kebangkrutan total segala macam ajaran lama yang penuh ilusi.
Bagi yang mampu beradaptasi dengan kehendak alam, pada gilirannya kekuatan alam akan mendaur ulang menjadi generasi baru yang memiliki kesadaran kosmologis yang selaras, sinergis dan harmonis dengan hukum alam. Mereka akan lahir sebagai manusia sejati yang mengerti diri sejati,dan memahami apa sejatinya hidup ini. Sebaliknya yang menolak koreksi alam dan hukum dinamika zaman, (sumber: sabdalangit)


~cSekian Semoga Bermanfaat ~


Indonesia Raya...!!!!
Nusantara Jaya..!!!!!

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar